Dompu, NTB – bongkarfakta.com ~ Sengketa lahan seluas 94 meter persegi di Desa Huu, Kecamatan Huu, Kabupaten Dompu, kembali mengemuka. Kasus ini menyeret nama anggota DPRD NTB, Efan Limantika, yang dituding menguasai tanah tanpa dasar hukum. Laporan seorang pria bernama Adnan menjadi pemicu, namun fakta persidangan justru menunjukkan arah berbeda: tidak pernah ada transaksi jual beli antara Adnan dengan pemilik tanah sebelumnya, almarhum M. Saleh Azis.
Pertanyaan pun bergulir: siapa pemilik sah lahan tersebut? Adnan mengklaim membeli langsung dari almarhum, tetapi dokumen hukum tidak mendukung klaimnya. Sebaliknya, Efan menegaskan kepemilikannya sah berdasarkan jual beli dengan Jaenab, istri almarhum, yang dituangkan dalam akta notaris resmi.
“Saya membeli tanah ini secara sah dari Jaenab dengan akta notaris resmi. Tidak ada bukti yang bisa membenarkan tuduhan itu,” tegas Efan, Jumat (19/9).
Landasan hukum yang dimaksud adalah Akta Jual Beli (AJB) yang diterbitkan oleh Notaris Munawir, SH., M.Kn pada 28 Oktober 2015. “Itu akta resmi, dibuat sesuai prosedur, disaksikan staf kantor serta ahli waris,” ungkap Munawir.
Di tengah proses hukum, situasi makin panas akibat maraknya posting-an di media sosial yang menyebut Efan sebagai “mafia tanah.” Narasi ini memicu kemarahan keluarga, kerabat, dan para pendukungnya. Mereka menilai tuduhan tersebut tidak hanya keliru, tetapi juga merusak nama baik serta karier politik yang dibangun bertahun-tahun.
“Menyebut saya mafia tanah jelas fitnah. Itu merusak citra saya dan keluarga. Saya yakin kebenaran akan terungkap di pengadilan,” ujar Efan.
Kecurigaan lain muncul saat hasil gelar perkara khusus di Polda NTB bocor lebih dulu ke pelapor. “Bagaimana mungkin pelapor mengetahui hasil gelar perkara, padahal dia tidak hadir? Kami menduga ada permainan. Bahkan, salah satu penyidik kasus ini pernah dijatuhi sanksi etik karena menerima suap,” tutur Efan.
Atas kondisi itu, ia meminta Propam dan Irwasda Polda NTB memastikan proses hukum tetap berjalan bersih tanpa intervensi.
Dua ahli waris, berinisial SN dan SR, bahkan mengaku pernah ditawari Rp200 juta dan satu mobil mewah oleh Adnan agar bersedia mendukung klaimnya. Kesaksian ini terungkap dalam persidangan perdata Nomor 16/Pdt.G/2025/PN DPU, sekaligus menegaskan bahwa Adnan tidak pernah berinteraksi langsung dengan almarhum maupun istrinya.
Kasus ini juga disertai aksi demonstrasi mahasiswa dari SEMMI NTB, yang menurut Efan bukan gerakan murni melainkan “pesanan.”
“Saya tidak anti kritik, tetapi tuduhan tanpa dasar hukum jelas merusak nama baik,” katanya.
Pada akhirnya, sengketa tanah di Huu bukan sekadar soal sebidang tanah. Di baliknya, ada pertaruhan nama baik, integritas, dan karier politik. Publik kini menanti akhir kisah ini: apakah kebenaran hukum akan tegak, atau justru terkubur dalam kabut fitnah yang menyesakkan.( om Jeks )