![]() |
Foto Febriyan Anindita Ketua Pengurus Harian Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kabupaten Sumbawa, |
SUMBAWA, NTB – bongkarfakta.com ~ Sertifikasi tambang etis Copper Mark yang diberikan kepada PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) menuai sorotan tajam. Masyarakat adat Cek Bocek Selesek Reen Sury atau Suku Berco di Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, menilai aktivitas eksplorasi tambang di wilayah adat mereka mengancam situs leluhur, tatanan sosial, hingga identitas budaya yang telah dijaga sejak abad ke-16.
Ketua Pengurus Harian Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kabupaten Sumbawa, Febriyan Anindita, menyampaikan bahwa eksplorasi oleh PT AMNT dilakukan tanpa melibatkan masyarakat adat sebagai pemilik sah wilayah ulayat.
“Tidak pernah ada dialog langsung dengan kami. Konsultasi hanya dilakukan dengan pemerintah, bukan kepada pemilik tanah adat. Ini bentuk pelanggaran hak,” ujar Febriyan, Kamis (1/8).
Ia menyebut bahwa wilayah adat di Desa Lawin, Kecamatan Ropang, seluas hampir 29.000 hektar telah diakui melalui Peraturan Desa Lawin Nomor 1 Tahun 2020. Namun kini, akses masyarakat terhadap hutan, mata air, hingga kuburan leluhur terancam hilang akibat proyek tambang.
Konflik ini dinilai tak sekadar persoalan lahan, melainkan bentuk pelanggaran terhadap konstitusi. Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 secara jelas menjamin perlindungan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat.
“Negara seharusnya hadir sebagai pelindung, bukan menjadi fasilitator korporasi. Aparat malah mengawal aktivitas tambang di tanah adat yang belum dibebaskan. Ini represi terselubung,” tegas Febriyan.
Copper Mark adalah lembaga internasional yang mengeluarkan sertifikasi pertambangan berkelanjutan dan bertanggung jawab. Namun dalam kasus ini, masyarakat adat mempertanyakan kredibilitas lembaga tersebut.
Dalam dokumen Grievance Mechanism, Copper Mark menyatakan bahwa pelanggaran terhadap hak masyarakat adat bisa menjadi dasar pencabutan sertifikat. Tetapi hingga kini, belum ada langkah konkret terhadap berbagai laporan dan bukti yang telah disampaikan.
“Jika Copper Mark diam, maka ia hanyalah stempel hijau yang mencuci wajah kotor industri tambang,” kritik Febriyan.
Masyarakat adat melalui jaringan AMAN menyampaikan tiga tuntutan kepada pemerintah dan Copper Mark:
Penghentian sementara seluruh aktivitas pertambangan di wilayah adat hingga FPIC dilaksanakan secara benar.
Audit independen terhadap proses pemberian sertifikat Copper Mark kepada PT AMNT.
Mereka menegaskan tidak menolak pembangunan, tetapi menolak praktik yang mengorbankan hak, sejarah, dan martabat masyarakat adat.
Masyarakat mendesak pemerintah pusat, Pemprov NTB, serta pihak terkait untuk segera turun tangan menyelesaikan konflik ini secara adil. Mereka juga menyerukan kepada komunitas internasional untuk mengawal agar lembaga sertifikasi global seperti Copper Mark menjalankan tanggung jawab etisnya secara transparan.
“Kami hanya ingin berdialog, bukan digusur. Kami ingin hidup berdampingan, bukan dihapuskan dari sejarah,” pungkas Febriyan.( Ricko Rey )