DOMPU, NTB – bongkarfakta.com ~ Dentuman suara toa memecah pagi Desa Ta’a, Kecamatan Kempo, Kabupaten Dompu, Kamis (30/10/2025). Di bawah langit yang muram, ratusan warga yang tergabung dalam Forum Masyarakat Peduli Keadilan (FMPK) berdiri tegak di depan kantor desa. Mereka datang bukan untuk berpesta, melainkan untuk menuntut kebenaran , menggugat dugaan gelapnya penggunaan Anggaran Dana Desa (ADD) selama tiga tahun terakhir.
Transparansi yang Buram, Kecurigaan yang Menyala
Aksi dimulai sekitar pukul 09.00 WITA. Spanduk dan poster bertuliskan seruan moral berjejer di antara massa. Dari atas mobil bak terbuka, Insan, Koordinator Lapangan (Korlap) aksi, lantang menyerukan orasi yang memecah keheningan.
“Kepala Desa Ta’a kami duga telah menyalahgunakan jabatan dan kewenangan untuk memperkaya diri sendiri. Dugaan penggelapan dana desa ini mencapai ratusan juta rupiah sejak tahun 2023 hingga 2025,” tegas Insan di hadapan ratusan pengunjuk rasa.
Ia juga menyoroti proyek pembelian tanah kuburan senilai Rp250 juta, yang disebutnya sebagai kebijakan absurd dan tak berpihak pada warga.
“Tanah kuburan itu berada di tepi sungai aktif. Bila jenazah dikubur di sana, bukan tidak mungkin akan hanyut ketika banjir datang. Ini bukan hanya soal uang, tapi soal akal sehat dan martabat,” ujarnya getir.
Massa FMPK menuntut agar pihak pemerintah desa atau pejabat yang mewakili segera membuka salinan APBDes tahun 2023 hingga 2025 secara transparan. Desakan itu muncul karena kepala desa yang diduga terlibat, saat ini tengah dirawat di rumah sakit.
Di tengah riuh tuntutan, Camat Kempo, Drs. Budirrahman, akhirnya turun tangan. Didampingi Sekretaris Desa Ta’a, aparat Polsek Kempo, dan Danramil 1614-02/Kempo Peltu Irwan, ia menyerahkan langsung salinan APBDes kepada perwakilan massa aksi.
“Kami menghormati aspirasi masyarakat. Dokumen ini diserahkan agar semua pihak dapat menilai secara objektif dan tidak menimbulkan kesalahpahaman,” ujar Budirrahman kepada awak media.
Serah terima itu menjadi momen yang disambut tepuk tangan panjang. Di wajah para demonstran, tampak kelegaan sekaligus tanda tanya besar: apakah lembaran kertas itu akan benar-benar membuka kebenaran?
Tak berhenti di situ, massa FMPK kemudian bergerak ke lokasi tanah kuburan yang menjadi sumber polemik. Dari hasil peninjauan lapangan, lahan tersebut memang berada di pinggiran sungai dengan kontur labil dan berisiko tergerus banjir — kondisi yang seolah melambangkan rapuhnya fondasi kepercayaan warga terhadap kepemimpinan desa.
Pantauan awak media menunjukkan, aksi berlangsung aman, tertib, dan damai berkat pengawalan aparat keamanan. Tidak ada bentrokan, tidak ada kekerasan , hanya suara rakyat yang menggema memecah sunyi birokrasi.
Bagi warga Ta’a, aksi hari itu bukan sekadar unjuk rasa, melainkan sebuah pernyataan hati: bahwa keadilan tidak boleh dikubur bersama diamnya pemerintah.
Dan ketika suara rakyat bergema lebih keras dari bunyi stempel kekuasaan, di sanalah demokrasi menemukan napasnya. Desa Ta’a hari itu menulis babak baru , bukan dengan tinta, tetapi dengan keberanian dan nurani yang menolak dibungkam.( Supryadin )

